Kerja sebagai Software developer di luar negri? Kenapa enggak?!

Β·

0 min read

34y0tt.jpg

Hi πŸ‘‹πŸΌ salam semuanya dari Leipzig, Germany πŸ‡©πŸ‡ͺ. Setelah penat dari kerjaan disini, saya ingin bercerita tentang kerja di luar negri mau sebagai Software developer atau apapun itu. Pertanyaan saya adalah

Apakah kalian siap bersaing dengan globalisasi?

Pertanyaan ini mestinya ditunjukkan ke semua pegawai mau di Indonesia atau di luar negri. Bahkan banyak sekarang di startup indonesia, pegawainya berasal dari luar indonesia. Dan balik lagi pertanyaannya, kalian siap berkompetisi dengan globalisasi?

kalau saya sendiri bisa menjawab bisa. Kenapa harus takut dengan persaingan global? Karena alasan kita sistem pendidikan kita kalah dengan yang lain? Enggak juga. Indonesia sudah sangat berkompeten banget dari segi akademik namun yang menjadi masalah adalah

Mentalitas πŸ§˜πŸ»β€β™‚οΈ

Anw, ini ga ada hubungannya sama pekerja Om Deddy yang sulap Mentalist 🀣 Namun yang saya perhatikan dilingkungan sosial, persiapan mentalitas seseorang harus mendapatkan sikap yang baik. Gak cuma buat kerja di luar negri, ini pun berlaku untuk di Indonesia juga.

Gak ada guna akademik kalian kalau mental masih kayak tempe.

Straigth to the point aja, mau kalian punya gelar S2, S3 atau sampe S10 (kaya produk merk hape), kalau mental masih kaya tempe pun percuma. Dikit kena kritik baper itu wajar tapi kalo sampai berlarut, itu berbahaya, nanti malah dikit-dikit ingin pulang ke Indonesia.

Mungkin di negara ASEAN masih ada beberapa budaya yang sama, dikritik bisa dalam konteks yang baik dan kalem, kalau negara Eropa dan Amerika? Pasti sangat berbeda jauh, bisa-bisa mental down dan tiba mewek. Apalagi jauh dari rumah lalu homesick 😒

Saya sering kali memperhatikan startup indonesia, banyak anak muda Indonesia yang sangat kreatif dalam dunia Startup. Dan pasti banyak diantara temen-temen kalian yang bekerja sebagai di berbagai profesi.

Anyway jangan berpikir yang sudah mampu ke luar negri bisa dibilang WOW!! PASTI LU PINTER, LU JAGO. Realitanya, semua orang pun sama didalam konteks belajar. Bedanya adalah persistence a.k.a kegigihan dalam menggapai achievement. And that’s what makes you stronger then the other. Dan kalau sudah merasa cukup, down to earth and be humble.

jordan-whitfield-sm3Ub_IJKQg-unsplash.jpg

Apa yang salah?

Yang salah adalah hanya seorang Fresh Graduate berbekal pengalaman saat kuliah sangat amat tidak cukup apalagi cuma modal Intern selama 3 bulan, semestinya pengalaman di dunia kerja harus diperbanyak. Karena itu sangat amat menjadi fundamental di luar negri.

Saya lulusan sekolah private jurusan Software Development (Karena DO dari sekolah design) dan itu pun sangat masih merasa kurang. Lalu apa? Belajar terus, mbah google dipakai untuk search ilmu, dan enaknya di Jerman ada lowongan Working Student.

Working student adalah lowongan profesi dimana bisa menjadi pegawai kantoran tapi masih sebagai mahasiswa dan mendapat ijin menjadi lebih dari part time worker. Normalnya part time worker di Jerman 10 sampai 16 jam per minggu, sedangkan Working student menjapat ijin 20 jam per minggu.

Ketika saya kuliah, saya paksakan untuk belajar lebih di bidang software development (anyway saya non beasiswa, dan dari awal pertama menginjak kaki di Jerman, saya berusaha survive tanpa minta duit ke orang tua, perjalanan sebelum menjadi Software Developer adalah kerja part time jadi tukang cuci piring, loper koran bahkan jualan kedai es krim). Kena tolak saat apply itu sudah biasa, dan pastinya ngerjain daily coding challenge bisa bikin stres (padahal giliran udah keterima ngerjain task ga begitu sulit, I must admit WTF Binary Search Tree in coding challenge interview, even temen saya lulusan bootcamp keterima di Airbnb, Berlin juga tasknya berbeda jauh 🀣).

Dari karakter setiap orang bisa dibedakan mana yang mempunyai mentalitas kuat dan mana yang tempe. Kita juga harus realistis ketika mau apply ke perusahan XYZ. Pertanyaanya adalah Apa yang bisa saya kasih untuk perusahaan XYZ?, mungkin banyak diantaranya menjawab Skillset saya. Skillset sudah menjadi core fundamental. Secara tak tersirat ketika apply adalah Value apa lagi yang saya punya selain skillset, jawabannya banyak, bisa tentang Jam Terbang, Skillset masih ada relevan dibidang masing-masing, yang pastinya harus punya adalah attitude. Dan satu lagi NETWORKING sangat amat penting. Sering kali datang ke acara Meetup atau Conference lainnya dan jangan minder ketika datang. Semua senior developer yang hadir dulunya juga beginner.

Balik ke cerita saya, dulu karena saya pertama minder dan overthinking, tapi alongside of them saya optimis menawarkan jam terbang saya lebih banyak untuk kantor. Dalam kata lain saya memberanikan diri untuk kerja lembur (karena yang saya pikir, semua perusahaan mau punya pegawainya berkontribusi tanpa mengenal waktu). Dan akhirnya saya pun lulus coding interview challenge ketika apply working student dan saat itu juga saya menghabiskan pengalaman 2 tahun 3 bulan, 3 bulan magang, 1 tahun saat masih Working student dan 1 tahun lagi sebagai Fulltime software developer.

Dan sekarang masih melanjutkan fulltime di kantor startup yang baru dan merangkap sebagai volunteer menjadi mentor JavaScript, ES6 dan React di organisasi non-profit (karena banyak senior developer disini yang sangat senang berbagi ilmu tanpa dibayar, salah satunya saya kenal dengan Lead Tech Heroku dan Software engineer Twitch). Bahasa yang digunakan apa? Kalau saya sendiri pakai bahasa jerman, walaupun kantor memberikan opsi berbahasa inggris, saya memilih bahasa jerman, karena bahasa inggris saya ancoooooorrrr 🀣

Lalu nanti ketika di CV seperti apa?

Mau statusnya sebagai working student pun, kalian tetap bekerja layaknya seorang fulltime software developer yaitu Solving the problem, jadi tidak masalah ketika menuliskan CV sebagai fulltime software developer. Dan enaknya lagi ketika kuliah libur, kantor selalu menawarkan jam terbang seperti fulltime worker 40 jam per minggu (bisa menikmati gaji fulltime sebagai software developer di eropa adalah sangat sesuatu πŸŽ‰ padahal statusnya masih mahasiswa).

johnson-wang-iI4sR_nkkbc-unsplash.jpg

Banyak jalan menuju Roma

Peribahasa bilang begitu ya sudah kita pun bisa melewati berbagai cara untuk bisa menjadi yang kita inginkan. Mau jadi software developer di Indonesia atau luar negri? Belajar dan berdoa (mau sampai kapanpun nasehat ini tetaplah begini). Gak punya degree Computer Science? Gunakan internet, belajar lewat Internet banyak resource gratis.

Haruskah ke luar negri dengan studi master dulu? Jawabannya tidak harus. Optional. Memiliki pendidikan yang tinggi hanya memperluas opportunity dalam mencari kerja. Kalau cuma modal Bachelor/Sarjana saja bagaimana? Bisa banget.

FYI: saya bertemu di beberapa conference JS di Berlin hingga kota lainnya dan mereka kebanyakan non-CS degree, ada lulusan Media Design yang kerja di Codesandbox, ada lulusan Communication Science yang kerja di Jira Software, ada yang lulusan Antropologi yang sekarang kerja sebagai Lead Tech di Twitter, bahkan temen saya dulunya pesulap (Bukan om Deddy lagi) kerja sebagai Software engineer di Airbnb Engineering.

Apalagi kalian yang sudah mengenyam pendidikan Computer Science. Kerja sebagai software developer di luar negri? Kenapa enggak?!